Panik Ditinggal Bus saat Ikut One Day City Tour di Daegu Korea Selatan

KOTA metropolitan ini merupakan terbesar keempat di Korea Selatan (Korsel). Nama resminya Kota Metropolitan Daegu, yang terkenal sebagai kota industri logam, tekstil dan mesin.

Bagaimana perjalanan ke kota ini? Endah Sulistyowati Nday, peneliti yang tinggal di Jakarta, membagikannya untuk pembaca mo-trans.

Daegu dikelilingi pegunungan : Palgongsan di utara, Biseulsan di selatan, kaki bukit Gaya-san di barat, dan satu deretan bukit kecil di timur. Sungai Geumho mengalir sepanjang perbatas-an utara dan timur kota ini.

Ketika perjalanan solo ke Korsel, April 2015, saya mampir Daegu. Jaraknya satu jam naik bus dari Busan. Saya menginap dua malam di rumah seorang anggota Couchsurfing (CS).

Datang langsung ke Terminal Busan. Tiket ke Daegu seharga 4.500 won (kelas ekonomi) dan 9.500 won (kelas eksekutif). Eiitsss, bus ekonominya sangat bagus.

Bedanya di kursi, yang eksekutif, lebih besar dan lebih lega.

Karena punya waktu sehari di Daegu, saya ikut One Day City Tour Bus. Ada beberapa pilihan tur, dengan destinasi yang beda-beda.

Harga tiket 5.000 won (bayar langsung di bus), sudah termasuk tiket tapi tanpa makan siang.

Saya memilih tur Gunung Palgongsan, yang meng-cover destinasi seperti Bullodong Ancient Tomb, Daegu Bangjja Brassware Museum, Donghwasa Temple dan Daegu Safety Theme Park.

Bus berangkat dari depan Stasiun KTX Dongdaegu pukul 09.30 dan berakhir di tempat yang sama pukul 17.00. Di bus, beberapa orang tua duduk di barisan depan.

Tidak lama, rombongan anak baru gede (ABG) usia SMP, yang ikut tur karena tugas sekolah.

Saya satu-satunya turis asing. Perempuan yang menjadi tour guide sangat baik, bolak-balik ke tempat duduk saya untuk menjelaskan dalam bahasa Inggris.

Tapi, the real adventure has just begun saat berada Donghwasa Temple dan kembali ke parkiran, bus sudah tidak ada. Saya ditinggal. Apakah saya telat? Tidak.

Saya selalu mengecek jam dan waktu. Sendiri, ya, saya berdiri terpaku dengan pandangan kosong, di pegunungan yang sepi itu.

Panik sekali. Saya tidak tahu jalan pulang. Tak ada bus umum. Sempat terpikir hitchhike (asal cegat kenda-raan), tapi tidak ada mobil yang lewat.

Tiba-tiba, seorang biksuni dan perempuan dari kios suvenir saling bercakap dalam bahasa Korea.

Keduanya mencoba mengatakan sesuatu. Jadilah, kami berkomunikasi ala bahasa Tarzan. Dengan susah payah, saya mengerti, bus sudah berangkat ke tujuan berikut.

Saya diminta menanti di kios kecil itu, dan saya mendapat satu set kartu-pos berisi 10, dari perempuan penjual itu. Gratis. Lama menunggu, si biksuni menawarkan mengantar.

Tidak jauh, hanya 6 km. Obrolan kami ‘nyambung’ walau beda bahasa. Di saat kesusahan, selalu ada orang baik yang membantu tanpa pamrih.

Di tengah perjalanan, perempuan tour guide berlari terengah-engah.

Dia membungkuk meminta maaf kepada saya dan biksuni. Saya ditinggal karena anak-anak ABG bosan dan ingin cepat pergi ke lokasi berikutnya.

Rasa kesal dan sedih itu sudah hilang, karena banyak orang baik membantu saya. Lantas, kami menuju Theme Park, sebagai tempat wisata terakhir.

Perempuan tour guide menyarankan ke puncak Palgongsan dengan cable car. Karena tidak termasuk paket tur, saya harus membayar 10.000 won (diskon jadi 7.500 karena saya ikut bus tur).

Kali ini, saya yang lupa daratan, keasyikan foto di puncak, hingga pusat informasi berteriak-teriak memanggil nama saya supaya turun. Kembali perempuan tour guide berlari-lari menjemput saya di stasiun cable car.

Ganti saya yang meminta maaf. Tiba di pusat kota sekitar pukul 17.00, saya lanjutkan berjalan tak tentu arah. Ada bazar di salah satu jalan.

Sekonyong-konyong, seorang ibu yang ramah menawari saya mencoba pakaian tradisional Korea dengan gratis. Yeayyy, benar-benar rezeki.

Meski agak malu karena muka kucel, setelah berpa-kaian lengkap, seorang turis memfoto saya dengan kamera Polaroid dan memberikan hasilnya, sambil bilang, “Ini untuk kenang-kenangan.” (*)

Tinggalkan Balasan