
PERJALANAN ke Thailand bak menembus kebosanan dari rutinitas. Menentukan sebuah tujuan wisata yang sama sekali berbeda bahasa dan berbeda budaya, sangatlah menantang.
Serunya nyasar, serunya buka peta tanpa koneksi internet, mengunjungi tempat wisata, tanpa harus sibuk check in dan update sosial media.
Thailand adalah tujuan yang tepat untuk tersesat. Tersesat? Takut? Begitulah filosofi perjalanan Anita Riadcliffe, warga komuntias Backpacker Dunia asal Yogyakarta.
Dia mencoba memaknai story, pengalamannya solo traveling itu, minimal untuk dirinya sendiri.
Sebagian besar dari kita hanya berani pulang–pergi menyusuri jalan yang sama dari hari ke hari. Terperangkap zona yang nyaman, akhirnya sering mengunjungi tempat yang sama, berlibur ke tempat yang sama.
Tak ketinggalan adalah : mencari orang yang bisa menemani perjalanan kita. Tanpa disadari, ternyata terperangkap dalam kebiasan “malas berpikir”. Otak sudah terbiasa dengan jalan yang sama, tak perlu lagi berpikir mencari jalan lain.
Saatnya, thinking out of the box, oppsss…No!! Thingking in new boxes. Mengunjungi suatu tempat yang baru dengan waktu, dana, dan informasi yang terbatas, sebenarnya sangat bisa mengubah siapa dirimu.
Misalnya, yang biasanya sering panik ketika menghadapi kejadian di luar rencana, maka solo traveling akan membuatmu tenang dan berpikir sejenak untuk mengambil keputusan tanpa rasa panik.
Selain itu, banyak “pintu keluar” lain dari masalah-masalah yang lain. Berawal dari “kebosanan” dengan rutinitas di Yogyakarta, saya memutuskan ke Thailand kurang dari 1 bulan.
Segala informasi saya cari, dana saya kumpulkan, hingga momen promo pesawat saya dapatkan. Akhirnya 23 Mei 2016, empat tahun lalu, menjadi hari pilihan saya untuk terbang sendiri ke Bangkok.
Saya benar-benar ingin mengalami situasi kebatinan : terasing dan tertantang. Ya, terasing, mengalami bagaimana serunya naik taksi dengan driver yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Diinterogasi petugas imigrasi, nyasar, wisata kota dengan perahu, pulang kemalaman, kelelahan, party, wisata malam, dan tentunya mencoba semua transportasi di Thailand.
Tertantang, menghadapi hal-hal yang terjadi diluar dugaan, mengalami kondisi-kondisi krisis, ‘tekanan mental’, culture shock, decision making, dan be free.
DAY 1 :
Touchdown Bangkok Don Muaeng Airport sekitar pukul 8 malam. Bingung mau naik apa dari bandara menuju hotel. Menurut rencana, harusnya naik bus dengan harga sekitar 10 Bath. Namun faktanya, tidak bus dari bandara ke hotel.
Tak ada pula tuktuk (seperti bajaj). *kondisi darurat 1*. Setelah keliling bandara dan mencari informasi, ternyata yang ada adalah bus transfer (seperti Damri), taksi (yang supermahal), dan sewa mobil yang sama sekali nggak worth it.
Akhirnya, saya naik bus dengan Wifi super kencang yang bisa buat update dan check in “touchdown Don Muaeng.” Woohoo…sejauh ini kebiasaan terhubung dengan internet masih ada. Wajarlah…hehe.
Kebetulan hotel saya ada di sekitar Khao San Road, sebuah lokasi strategis untuk para backpacker di Bangkok. Kalau di Bali, lokasi ini adalah Jl Poppies dan kalau di Yogyakarta, tempat ini kurang lebih seperti Jl Sosrowijayan, dekat Malioboro.
Apapun sangat mudah kamu dapatkan di sini, apalagi ada 7-Eleven bisa kita temui kurang dari 50 meter. Check in. Istirahat. Mandi. Perut mulai lapar.
Khao San Road tak pernah sepi meski tengah malam. Bahkan semakin malam semakin ramai karena banyak cafe-cafe malam. Istilah gaulnya, tempat wisata malam. Penjual baju-baju di pinggir jalan yang murah-murah pun turut meramaikan suasana.
Yang paling seru, street food yang fresh. Murah-murah dan yang pasti rasanya enakkkk! Semua harga makanan tertera, so nggak bakalan kena tipu! Nggak cuma di Gunung kidul, Yogyakarta saja yang makanannya aneh (walang goreng).
Di sini bahkan ada walang goreng, sate kalajengking, dan serangga-serangga lainnya. Tapi yang super enak seperti BBQ daging, Thai Pat, Seafood juga nggak kalah menarik.